Minggu, 30 Juni 2013

KATINDANA ODA bagi KABUA-BUA atau KATANGKANA ONI bagi KALAMBE

Katindanaoda maupun Katangkanaoni itu sama saja ialah berarti ikatan perjanjian, berupa benda-benda perhiasan seperti cincin emas, uang emas dan lain sebagainya.

Bagi golongan Kaomu/Lalaki, Katindanaoda disebut POMONEA
Bila mana benda-benda perhiasan tidak ada, dapat pula diuangkan dengan syarat-syarat yang sudah ditetapkan sebagai berikut :
Golongan Kaomu/Lalaki (Bangsawan) : 5 Boka
Golongan Walaka/Masyarakat Umum : 3 Boka

Empat hari kemudian dari selesainya penyerahan KATINDANAODA atau KATANGKANAONI, disusul pula dengan penyerahan suatu pemberian dari pihak laki-laki, namanya BAKENA KAU (Buah-buahan).

Mengenai jumlah dan jenis buah-buahan sesuai ukuran tertentu. Dan dalam mengantar buah-buahan tersebut, ada yang dijunjung dan ada pula yang dipikul.
Bakena Kau atau buah-buahan ini boleh juga diuangkan dengan ketentuan ataupun syarat-syarat yang telah ditetapkan sebagai berikut :
Golongan Kaomu/Lalaki (Bangsawan) : 5 Boka
Golongan Walaka/Masyarakat Umum : 3 Boka



Bakena Kau tersebut baik berupa buah-buahan maupun berupa uang, sesudah diterima lalu dibagikan kepada sanak keluarga atau famili dekat dari pihak perempuan.

Dijelaskan pula bahwa pada saat penyerahan Katindanaoda atau Katangkanaoni dapat juga sekaligus menyerahkan Bakena Kau yang berupa uang sesuai jumlah tersebut di atas.

Pemberian / Penyerahan Bakena Kau dilakukan dua kali yakni :

Pada saat penyerahan Katindanaoda
Pada saat penyerahan Tauraka atau Popolo (Mahar)

Selama dalam pertunangan, bilamana si laki hendak berpergian keluar daerah misalnya berlayar pergi merantau dan lain-lain, maka pihak perempuan harus menyerahkan suatu pemberian kepada si laki-laki, namanya KAKANU yakni untuk bakal berupa uang dengan jumlah sebagai berikut :
Golongan Kaomu/Lalaki (Bangsawan) : 5 Boka
Golongan Walaka/Masyarakat Umum : 3 Boka

Sebaliknya pihak laki-laki apabila ia telah kembali dari perjalanan atau pelayaran, harus pula menyerahkan suatu pemberian kepada pihak perempuan, namanya KABAKU yakni sebagai ole-ole atau buah tangan berupa pakaian jadi atau bahan pakaian atau benda perhiasan lainnya.


Baik KAKANU maupun KABAKU harus diserahkan secara resmi melalui perantaraan seorang orang tua kepada pihak orang tua yang bersangkutan.

PESONA WISATA BUDAYA & WISATA PETUALANG DI PUNCAK GUNUNG SIONTAPINA

Para Syara' Matanaeo Sukanaeyo
Labuandiri, Wasuamba, Kamaru, Lawele
Perangkat Adat
Di Kabupaten Buton, yang merupakan wilayah Kesultanan Buton dahulu, terdapat banyak situs sejarah dan hingga kini masih terjaga dengan baik, sebut saja Puncak Siontapina, yang merupakan Benteng Pertahanan sekaligus Markas Rahasia sang Pejuang Patriotis, penentang kedzaliman imrealisme Belanda saat itu, yang bernama Laode Himmayatuddin Muhammad Saidi Ibnu Sulthaani Liyaluddin Ismail  (Oputa Yikoo) atau La Karambau, merupakan satu-satunya Tokoh yang naik Tahta dan memerintah sebanyak dua periode, yakni Sultan Buton ke 21 dan 23. 

Selain gigih dalam melakukan perlawanan
Hutan Kaombo
Persiapan Mendaki Puncak Siontapina
terhadap Belanda, Himayatuddin juga menekankan pentingnya kelestarian hutan yang menunjang aktivitas kehidupan masyarakat pengikutnya saat itu, sehingga disekitaran Puncak Siontapina ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Adat yang disebut Kaombo dengan tujuan agar hutan yang berada disekitar Puncak Siontapina tetap terpeliharan dan terjaga keasliannya. Sanksi adat menanti untuk mereka yang m elanggar, yakni berupa denda atau menanam kembali pohon yang ditebang dengan beberapa pohon yang lain, bahkan ada sanksi berat untuk mereka yang tertangkap tangan melakukan pengrusakan hutan yaitu diasingkan kedaerah lain. Wasiat inilah yang masih terus dijalankan oleh para pengikutnya yang tersebar di Wasuamba, Labuandiri, Kamaru dan Lawele


Team Petualang
Suasa Pendakain menuju Puncak Siontapina
Masyarakat adat Wasuamba sebagai kaanana ompo Sultan Himayatuddin masih memeliharan dan menjalankan wasiat ini, maka setiap tahunnya setelah Idul Fitri usai, Syara Matanaeyo – Sukanaeyo, Labuandiri Wasuamba akanberkumpul untuk bermusyawarah membicarakan prosesi adat tahunan yang disebut dengan Tutura yang akan diselenggarakan dipuncak bukit Siontapina. Tutura ini akan berlangsung selama beberapa hari itulah sebabnya masyarakat adat (Tontau, Pau, dan Syara) beserta rombongan yang akan menuju puncak siontapina akan mempersiapkan perbekalan selama disana. Proses ini mereka janlankan penuh dengan semangat gotong royong sehingga perjalan menuju puncak siontapina yang berjarak kurang lebih 50 Km memasuki hutan belantara menjadi ringan dan ramai.

Sisi Kiri merupakan Benteng Alam Wantalao
Sisi Benteng alam LAKODO
Untuk menuju puncak Siontapina kita berjalan melalui jalur Labuandiri (kurang lebih 40 Km) atau melalui jalur favorit yakni desa Wasuamba yaang memiliki jarak tempuh lebih pendek, diperjalanan  kita akan disuguhkan pemandangan alam yang asri dan menakjubkan, aliran sungai yang bersih dan hamparan ladang tradisional yang menghijau, mendaki beberapa bukit, menyeberangi sungai. Disepanjang jalan kita akan melihat aneka flora dan fauna, dibeberapa tempat aneka satwa ini mulai terusik kehidupannya disebabkan kehadiran beberapa perusahaan pertambangan yang mulai memporak-porandakan hutan disekitar Puncak Siotantapina. Diperjalan, kita juga dapat menangkap udang untuk makan siang sambil beristrahat diantara pohon yang rindang, perjalanan ini dapat kita tempuh dalam waktu satu hari.

SAMBUREA (Pembersihan)
Pertunjukan NGIBI di hari Kedua (Sangka)
Memasuki Puncak siontapina kita harus memakai sarung dan songkok, tidak diperknankan memakai celana panjang dan alas kaki. Suasananya terasa seperti zaman dahulu. Di Puncak Siontapina, kita akan terpesona dengan pemandangan alam yang menakjubkan, selain itu adanya benteng alam berbentuk segita 3 semakin membuat kita takjub akan sistem pertahanan Himayatuddin saat itu, Benteng di sisi Timur bernama Wantalao dengan kedalama tebing  sekitar 1 km (tegak lurus 180o), di tempat ini kita melihat langsung laut banda yang merupakan jalur pelayaran nasional dan internasional, Kepulauan Wakatobi, Pasarwajo, Teluk Kamaru. 
POMUNSEI (Gambaran melawan Penjajah) 
Oputa Bawine dan Waode Wakato
Pemutaran Payung
Sedangkan sisi Utara terdapat benteng Alam yang bernama LAKODO, ditempat ini kita akan melihat teluk Lawele, Hamparan hutan Lambelu, sungai Kalata yang bermuara di Wakantolalo Perbatasan Kec. Wolowa dengan Kec. Siontapina. Disisi Barat terdapat benteng alam yang disebut WAMOINONDO, ditempat inilah kita akan melihat langsung ke arah Sora wolio dan sekitarnya. Selain itu, di puncak siontapina kita akan menyaksikan beberapa situs, seperti Lawana Wasuamba, Uwe Pangalasa, Quba Oputa Yikoo, Batu Banawa, Permandian Waode Kulisusu serta beberapa meriam dan situs lainnya. 
Makam Oputa Sangia Yikoo
Suasana Haroa di malam hari
Selain pemandangan alamnya yang menakjubkan, kita juga akan disuguhi beberapa atraksi dan prosesi adat yang disebut Tutura, dimulai dengan Prosesi Samburea yang berarti membersihkan, secara kasat mata kita akan menyaksikan prosesi pembersihan beberapa situs seperti pekangkiloana Batubanawa, Pembersihan Permandaian Waode Kulisisusu, pembersihan  Quba Oputa Yikoo, pembersihan dan ziarah ke beberapa makam yang terdapat di puncak Siontapina. Pada hari Samburea, semua orang diwajibkan memakain pakaian berwarna hijau, ibarat telur ayam, Samburea adalah cangkak luarnya. Hakekatnya Wallahu allamu. 


Remaja di Puncak Siontapina
Haroan di Puncak Siontapina
Di hari kedua, Prosesi adat disebut dengan Sangka (Penyempurna) yang diawali dengan ritual mendirikan tiang sangka oleh 16 orang anggota syara Matanaeo Sukanaeo, dalam prosesi ini kita juga akan menyaksikan persembahan tarian Moose di atas batu banawa yang dimainkan oleh remaja perempuan yang belum gadis (belum haid), dilanjutkan denganTarian Linda, Mangaru, Pomunsei dan Manca serta prosesi pemberian makan kepada anak yatim piatu. Pada hari ini semua orang akan berpakain serba putih, seumpama telur ini adalah lapisan kedua, putih telur itu sendiri, hakekatnya Wallahu alamu. 
Melayang Di Puncak Siontapina
Nasi Bambu
Hari ketiga dari Prosesi adat merupakan puncak dari segala kegiatan Tutura di puncak siontapina, inilah yang disebut matano atau prosesi  Pemutaran Payung. Payung keselamatan Negeri Butuuni,  dihari ini masyarakat adat akan berkumpul disatu tempat yang disebut lembono wite, duduk bersama mendengarkan nasehat dari Kapitalau Lawele dan dilanjutkan dengan berjabat tangan dengan beberapa Leluhur Buton yang hadir dengan jalan “Pobangka” pada Jasad yang telah dipersiapkan oleh Syara Matanaeo Sukanaeo. Di hari ini kita akan menyaksikan beberapa kejadian diluar akal sehat kita namun itulah yang menjadikan Siontapina menjadi berbeda dengan sangia lain di Buton. 

Bocah-Bocah di Puncak Siontapina
Santap siang di perjalan
orang-orang yang berpakaian serba kuning, ditamsilkan ibarat telur ayam, hari ini merupakan inti terdalam, pusat dari seluruh kegiatan Tutura di puncak siontapina, hakekatnya Wallahu alamu. Sore harinya kita akan menyaksikan pembuatan nasi bambu secara masal, sebagai wujud kesyukuran atas hasil panen yang melimpah dan dilanjutkan dengan haroa dimalam harinya. Dipuncak siontapina, setiap malamnya kita akan menyaksikan pergelaran seni budaya yang berlansung semalam suntuk, ramai oleh hiruk pikuk orang-orang baik muda maupun tua, pria dan wanita, mereka tampil berpasang-pasangan untuk menari dan bernyanti tradisional yang disebut Kabhanti, disiang hari kita akan diajak berpetualang dirimba sekitar siontapina, memasang perangkap ayam hutan (manu koo) dan memasang bubu untuk mendapatkan udang serta mencari sayur mayur dari rebung rotan dan jamur hutan. Semuanya serba alami dan penuh petualangan. Sayangnya, Potensi pariwisata di puncak Siontapina hinga saat ini belum dilirik oleh Pemerintah Kabupaten Buton, hal ini diperkuat dengan tidak adanya satupun fasilitas yang disiapkan oleh Pemerintah seperti papan Informasi ataupun Katalog Seni dan Budaya yang ada di Kabupaten Buton, hingga tulisan ini dimuat, permintaan masyarakat adat Wasuamba untuk 

dibuatkan Baruga belum terwujud sehingga kegiatan adat masih diselenggarakan di rumah-rumah penduduk yang tidak terpusat dan tidak terorganisir dengan baik, entah sampai kapan hal ini akan terus berlanjut, padahal potensi ini sangat berperan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah di Sektor Pariwisata dari Bording dan kunjungan wisatawan, sebagaimana kita ketahui sektor Pariwisata merupakan lokomotif penggerak ekonomi rakyat karena memiliki multiplayer efek yang kuat.





































Selasa, 28 Juni 2011

PEROUA, Sebuah Tradisi dalam Adat & Budaya Buton


Peroua (Artinya Pencucian Wajah/Muka)
Acara ini hanya dilaksanakan oleh Bhisa (Dukun), dengan alat-alat kelengkapan sebagai berikut :
a.    Kain Putih, sandapa sasiku (satu depa dan satu hasta) kurang lebih 2 meter
b.    Bosu-Bosu Kosusu 2 buah (buyung atau pasu kecil yang ada susunya)

Pelaksanaannya pada 8 (delapan) hari bulan dilangit sesudah Magrib.  Yang bersangkutan duduk di pintu depan, rambut terurai menghadap ke arah Barat.  Dukun mengambil Bosu-Bosu Kosusu yang berisi air kemudian menyiramkannya dari kepala dengan sekaligus memecahkan bosu-bosu tersebut di atas kepala, lalu merobek sedikit sarung perempuan yang bersangkutan.

Sesudah itu balik menghadap ke arah Timur dan disiram lagi dengan air dan Bosu-Bosu Kosusu yang sebuah lagi tetapi tidak dipecahkan hanya dituang.  Kain putih serta Bosu-Bosu Kosusu tersebut diambil oleh Dukun.  Selain itu diberikan pula kepada Dukun uang sejumlah 3 boka.

Catatan :        
a.   Air yang dipergunakan untuk Peroua ini diambil di kali pada waktu subuh :
-    Bosu-Bosu Kosusu ke 1 diisi menghadap muara
-    Bosu-Bosu Kosusu ke 2 diisi menghadap ke hulu sungai
b.  Mendahului pelaksanaan Peroua ini lebih dahulu Dukun memasukan dua keping uang katip ke dalam Bosu-Bosu Kosusu yang diisi menghadap ke hulu.  Kalau kedua keping uang katip ini nampak kron di atas ini alamat baik.  Kalau sebaliknya maka harus diulangi namun hanya satu kron diatas itupun sudah dianggap baik, diulang sampai 3 kali. Sesudah itu baru dilaksanakan Peroua.

Demikian Ritual Peroua dalam Tradisi Budaya Buton.